SDGs#28 kali ini diselenggarakan pada hari Senin 23 April 2018 R di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi, UGM. Kali ini diskusi mengangkat tema “Kembali ke Pangan Lokal Melalui Revitalisasi Pekarangan” yang menghadirkan dua pembicara, yaitu Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc., dan Prof. Dr. Su Ritohardoyo, M.A. Informasi lebih lengkap mengenai materi dan sesi tanya jawab dipaparkan sebagai berikut :
Pembahasan mengenai makanan lokal itu penting karena terdapat banyak permasalahan mengenai ketahanan pangan di Indonesia. Alasan yang dominan adalah karena berkurangnya laha pertanian. Pada saat ini, Indonesia mengandalkan sawah dan pekarangan sebagai pendukung produksi pangan lokal. Sawah di Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami pergeseran produksi. Pengolahan lahan marginal pantas dilestarikan tetapi dalam tata ruang tidak. Produksi pangan sangat mengalami kemerosotan. Pekarangan masyarakat yang ditanami tumbuhan penting untuk kebutuhan sehari-hari pun juga berkurang. Pekarangan merupakan sumber protein dan karbohidrat, tetapi lama-kelamaan tergerus. Makanan manusia tidak jauh dari tempat tinggalnya. Food miles merupakan jarak dari tempat tinggal manusia hingga tempat produksi makanan tersebut. Home garden atau pekarangan bisa mengurangi food miles yang sangat jauh. Masyarakat akan dengan cepat memanfaatkan tanaman untuk makanan sehari-hari.
Di Daerah Kulonprogo, 50% spesies tanaman lokal tidak dikonsumsi lagi karena kurangnya pengetahuan tentang pengetahuan. Hal ini juga terjadi karena adanya Bias Pembangunan Pertanian terhadap beras sebagai makanan pokok. Pekarangan di Kulonprogo masih banyak, tetapi tidak pernah dipetik atau dimanfaatkan. Masyarakat lebih memilih makanan yang praktis.
Persoalan tentang makanan lokal salah satunya adalah penjual tidak memiliki NPWP untuk laporan Pajak. Selain itu, sebagian masyarakat menganggap bahwa makanan lokal merupakan makanan dengan gengsi rendah. Adanya penetrasi makanan non lokal di pasar lokal juga menjadi persolan. Kebijakan kontraproduktif di masa lalu; tanaman di pekarangan tidak boleh ada karena menjadi sarang nyamuk dan menjadi sumber sampah. Pekarangan rumah-rumah pada zaman sekarang memiliki pekarangan kecil, padahal pekarangan yang luas dapat ditanami tanaman makanan lokal. Regenerasi pertanian berhenti karena kebanyakan petani tidak memiliki penerus untuk meneruskan lahan pertaniannya. Ada beberapa jenis makanan lokal yang susah untuk disajikan (tidak praktis). Berbagai makanan lokal merupakan tumbuhan musiman, jadi supply tidak konstan. Pengetahuan dan teknologi saat ini juga mempengaruhi makanan lokal yang masih tersedia saat ini. Generasi muda tidak memiliki banyak pengetahuan tentang makanan lokal. Sudah ada usaha untuk anak-anak muda supaya memiliki pengetahuan tentang makanan lokal, siswa-siswa SD dikenalkan dengan makanan lokal. Kendala lain adalah makanan lokal kadang justru lebih mahal daripada makanan massal. Tentu masyarakat akan lebih mengonsumsi makanan massal. Pasar juga tidak memiliki informasi yang jelas mengenai makanan lokal. Faktor yang mempengaruhi makanan lokal terkait dengan kebijakan nasional salah satunya adalah bias terhadap nasi. Jadi, masyarakat di kampung makan nasi supaya dianggap sejahtera.
Kontribusi pangan lokal sebenarnya penting, tetapi saat ini terdapat persoalan. Perdagangan internasional dan inter-regional juga mengikis makanan lokal. Food Security dapat didukung oleh adanya makanan lokal. Generasi masa kini seharusnya mengetahui bahwa karbohidrat tidak hanya nasi. Dalam jangka pendek, makanan lokal belum bisa menjadi komponen penting dalam Food Security. Pintu masuk untuk mempertahankan pangan lokal adalah tentang bagaimana merestorasi sistem pekarangan seperti tahun 1950-an dalam skala pekarangan masyarakat yang makin kecil. Kerapatan vegetasi pada tahun 1950-an tergolong tinggi. Generasi masa kini lebih mengutamakan estetika tetapi melupakan kesehatan. Jadi, pekarangan rumah-rumah masa kini hanya berisi tanaman hias. Image tentang Indonesia adalah “Diversity of Crops” yang sangat tinggi. Hal tersebut merupakan hal yang menarik bagi mancanegara untuk datang ke Indonesia.
Sesi Diskusi
- Minta Arsana :
One village one Product pada zaman dahulu. Generasi muda tidak suka dengan makanan zaman dulu karena gengsi rendah dan tidak praktis. Makanan tradisional Indonesia justru menjadi prestis di mancanegara. Negara-negara lain sedang gencar gencarnya mempromosikan makanan khasnya. Tumbuhan diolah menjadi bahan setengah jadi dan dijual ke luar negeri. Bagaimana strategi agar makanan lokal tetap eksis walaupun sudah mulai tergerus makanan modern?
Jawab:
- Sentimen makanan sehat
- Pariwisata makanan
Mungkin pihak-pihak catering bisa menyajikan makanan-makanan lokal sebagai hidangan di resepsi. Kemudian, menanamkan New value untuk generasi muda bahwa makanan lokal merupakan makanan sehat dan keren. Dengan adanya IPTEK, makanan lokal dapat di-branding dengan cepat. Apalagi apabila makanan tersebut memiliki keunikan, maka makanan tersebut akan ter-branding dengan cepat. Makanan juga akan mempunyai keterkaitan emosional dengan orang-orang. Tentang bagaimana pengemasan makanan lokal sehingga jauh lebih menarik.
- Fahmi:
Pekarangan menjadi salah satu cara untuk menumbuhkan kembali makanan lokal. Mengapa pekarangan rumah tidak diharuskan untuk membuat lahan tersebut menjadi lahan produktif, sehingga bisa dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari, tanpa harus membeli.
Jawab:
Hal ini tergantung pada bagaimana pemerintah membuat program atau kebijakan. Sebagai contoh, salah satu desa di Sidoarjo mengharuskan masyarakatnya untuk menanam tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Partisipasi masyarakat pun juga baik, sehingga program ini berjalan dengan baik.