SDGs#23 kali ini diselenggarakan kembali pada hari Senin, 27 November 2017 di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi, UGM. Dihadiri lebih dari 100 peserta, kali ini diskusi dengan tema peran indigenous tourism dibahas dengan mengetengahkan perbandingan antara pengelolaan dua taman nasional di Indonesia dan Malaysia. Nur Widiyanto berbagi kepada para audiens sebagian kecil dari riset yang telah dilakukannya di kedua kawasan tersebut. Informasi lebih lengkap mengenai materi dan sesi tanya jawab dipaparkan sebagai berikut :
PEMBUKAAN
Oleh: Prof. Dr. M. Baiquni, M.A
Diskusi tentang SDGs saat ini memang merupakan suatu hal yang sangat seru untuk terus dibahas. Pelaksanaan SDGs telah menjadi fokus dari beberapa instansi yang ada di Indonesia, salah satunya adalah rektor UNPAD, yang mendukung adanya SDGs dengan mendirikan SDGs Center yang memang fokus membahas tentang perkembangan SDGs. Kemudian juga ada rektor dari ITS, dan UNS yang juga mendorong tercapainya SDGs. Badan-badan pemerintah juga sangat mendukung pencapaian SDGs dan banyak juga yang membrandingkan SDGs seperti Bappenas, Dirjen pemerintahan yang membawahi bidang pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
ISI
Sesi 1
Oleh: Nur Widiyanto ( Ahli Antropologi )
Tema yang diangkat merupakan suatu riset disertasi yang masih dilakukan oleh Pak Nur Widiyanto, riset lapangan sudah dimulai sejka tahun 2016, namun semenjak 10 tahun yang lalu interkasi sudah dimulai dan berusaha dibangun dengan masyarakat yang tinggal di sekitar taman nasional tersebut. Wilayah sekitar taman nasional ini merupakan wilayah yang memang bagus seperti surga dan sangat cocok untuk digunakan sebagai tempat yang pas dalam menghilangkan penat terutama untuk masyarakat perkotaan. Sebagian kecil dari hasil penelitian ini telah dipresentasikan di Thailand dan mendapat dukungan dari sana.
Indigenous Tourism adalah pariwisata yang dikembangkan oleh masyarakat adat. Bagaimana masyarakat adat dapat mengembangkan suatu kawasan pariwisata dan bagaimana masyarakat adat mengembangkan pariwisata tersebut dan silinier dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Indigenous adalah masyarakat adat yang tinggal secara berkelanjutan di suatu wilayah, masyarakat adat yang ada tersebut merupakan masyarakat yang pernah merasakan diskriminasi secara regional dan termajinalisasi serta terputus
hubungannya dengan wilayah lain. Lalu indigenous tourism merupakan suatu konsep perkembangan pariwisata yang berusaha dikembangkan oleh masyarakat adat tersebut.
Pengembangan indigenous tourism selain untuk profit ekonomi tapi juga dikembangkan untuk branding masyarakat yang termajinalkan tersebut, indigenous tourism sebagai wadah untuk menyuarakan suara masyarakat yang termajinalkan tersebut. Pembentukan indigenous tourism ini merupakan suatu konsep yang berusaha dibangun dan sering disebut sebagai social movement, dan merupakan konsep yang selinier dengan growth cultural. Mengapa masyarakat adat berusaha untuk mengembangkan konsep ini ? karena masyarakat adat cenderung dianggap sebagai penghambat dalam pertumbuhan ekonomi. Jadi masyarakat adat ini termajinalkan secara ekonomi. Ada empat macam sistem diskriminasi kaum adat yaitu pertama adalah kesusahan dalam menciptakan dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, kedua adalah kehilangan kesempatan dalam beribadah secara kepercayaannya, ketiga terdiskriminasi sebagian haknya dalam menerima hak dari negara, terakhir kaum adat terdiskriminasikan dalam kesempatan mendapatkan ruang, karena banyak sekali tanah ulayat milik kaum adat yang diambil secara paksa untuk kebutuhan tertentu dan kepentingan kelompok orang tertentu.
Kepentingan utama dari adanya taman nasional adalah konservasi project, namun hasil dari konservasi tersebut justru tidak dinikmati oleh masyarakat lokal, namun dinikmati oleh masyarakat luar wilayah tersebut. Pada dasarnya kekayaan utama yang ada di dua wilayah ini merupakan gunung. Gunung menjadi objek utama yang mendukung aktivitas masyarakat disana. Gunung merupakan core cultural atau pusat terbentuknya budaya yang juga mempengaruhi budaya masyarakat yang ada disana. Gunung yang ada di dua wilayah
tersebut Kinibalu dan Sabah merupakan suatu tempat yang sakral bagi masyarakat adat di sana gunung tersebut menjadi sesuatu yang amat penting, mereka juga mempercayai bahwa gunung-gunung tersebut mempengaruhi diamana mereka akan berada surga atau neraka.
Setelah dianggap sebagai kawasan konservasi dan kemudian dijadikan sebagai hutan nasional, nyatanya hal tersebut justru membuat masyarakat adat yang tinggal di sekitar wilayah tersebut terbatas aksesnya secara fisik dalam memanfaatkan kenampakan fisik dan
alam yang ada. Lokasi tinggal masyarakat dusun atau adat di kawasan Sabah, terletak di comfort zone, yang merupakan lokasi utama penghasil mata air yang kemudian menyuplai kebutuhan air masyarakat yang tinggal di Kota Kinabalu.
Hutan lindung yang kemudian ada disana yaitu di Halimun Salak merupakan suatu hutan lindung yang memang sudah terbentuk sejka lama, sejak jaman kolonialisme Belanda dan bahkan lokasi tersebut dijadikan tambang emas pula. Tahun 2003 mulai terjadi banyak
masalah karena semakin dilebarluaskan kawasan tersebut. Adanya hutan lindung di Kinabalu diinisiasi oleh Inggris dimana sejak tahun 2010, masyarakat yang ada baru boleh melakukan ibadahnya. Sejak 50 tahun memang hutan lindung di Kinablu tidak boleh diakses oleh siapapun, bahkan masyarakat adat yang ada tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas khususnya yang berbau mistis, namun selanjutnya setelah 50 tahun baru bisa mengakses gunung untuk melakukan ritual. Tahun 2012 Kinabalu mendapatkan dukungan dan pendanaan untuk mengelola hutan nasional secara modern. Berkaitan dengan Sustainable Development Goals, pendirian hutan nasional
kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kawasan pariwisata namun secara limited. Pengembangan kawasan wisata ini tujuan utamanya adalah untuk memperkenalkan keberadaan mereka dan sebagai pengakuan masyarakat lokal yang ada sebagai pendukung
utama perkembangan pariwisata di hutan nasional tersebut. Perkembangan hutan nasional di Jawa Barat dan di Sabah menggunakan konsep political collaboration, dimana masyarakat adat yang ada disana berusaha untuk memberikan suara dan mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan memberi gagasan yaitu adanya pembatasan dan pemberian zonasi kepada masyarakat lokal yang tinggal disekitar hutan nasional untuk tetap bisa melaksanakan ritual. Di kedua tersebut memiliki aturan-aturan tertentu atau conservation fee yang memang digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan disana. Adanay aturan tersebut memiliki sifat yang sangat kejam namun bagi mereka hal tersebut penting agar lingkungan yang ada disekitar mereka tetap asri.
PERTANYAAN/TANGGAPAN
Pertanyaan :
1. Apakah saat melakukan riset dikedua lokasi tersebut, masih ada atau tidak kegiatan pertambangan di kedua wilayah tersebut ? Bukankah kegiatan pertambangan tidak boleh dilakukan di hutan lindung?
2. Bagaimanakah kondisi pertambangan yang terletak pada perbatasan hutan nasional menurut Prof Baiquni?
3. Apa persamaan dasar dari kedua hutan nasional tersebut baik di halimun salak dan di Kinabalu?
4. Bagaimana hak asasi manusia yang dimiliki oleh kaum adat disana? Bahkan pemerintah justru mendukung, bagaimana sistem pemerintahan sebenarnya ?
5. Kemudian bagaimana perekonomian basis kemasyarakatan?
6. Bagaimana kearifan lokal menjadi pengawal dalam perlakuan kelestarian lingkungan dan policy yang memihak?
Jawaban:
1. Pertama harusnya kita dapat membedakan konsepsi tentang bagaimana terbentuknya pertambangan tersebut, bisa jadi pertambangan emas yang ada dikarenakan oleh masyarakat lokal sendiri. Bahkan pemerintah telah menentukan bahwa tidak boleh ada kegiatan eksploitasi dan eksplorasi di sekitar hutan nasional
2. Kesamaan dasar dikedua wilayah tersebut adalah adanya pesta panen yang memang ada untuk menarik para turis. Adanya perkembangan kawasan wisata di kedua hutan nasional tersebut nyatanya berhasil membuat pemerintah berhenti untuk mengusir masyarakat adat yang disana karena nyatanya masyarakat adat yang ada berguna bagi hutan nasional.
3. Perekonomian disana semua lumayan sulit. Mengelola negara memang butuh banyak kerjasama dan dukungan dari semua pihak khususnya dukungan dari masyarakat lokal.
4. Tahun 2012 banyak komunitas yang telah mendukung adanya perdukungan terhadap hak masyarakat lokal dalam melaksanakan ibadah.
5. Banyak keputusan MK yang sudah memberikan hak atas tanah kepada masyarakat lokal atas tanah adat yang ada, namun secara administrasi lumayan sulit karena kawasan berada di lingkungan hutan nasional.
6. Tambahan dari Prof Baiquni : diskusi ini menjadi sangat penting karena juga dipertimbangkan atau ikut diperhatikan oleh Bappenas.
7. Perkembangan perekonomian disana justru dikembangkan oleh sektor perhotelan yang kemudian justru perhotelan yang ada disana dimiliki oleh perusahaan asing.