Seminar series SDGs ke-22 kali ini mengangkat tema Kepemimpinan dalam konteks Pembangunan Wilayah. Dalam sesi ini menghadirkan Prof. M. Baiquni, M.A (Kepala Departemen Geografi Pembangunan), Ainun Nurma Ramadhana (Mahasiswa Prodi Pembangunan Wilayah) dan Dimas Arief Ekananto (Mahasiswa Prodi Pembangunan Wilayah) sebagai narasumber dan Prof. Dr. R. Rijanta M.Sc. sebagai moderator. Acara dibuka dengan sambutan singkat dari moderator. Beliau memaparkan bahwa pembangunan wilayah saat ini yang sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan dari ruang yang hanya merupakan ruang absolut menjadi ruang virtual sehingga memunculkan isu dan pendekatan yang baru, sangat pas dengan narasumber yang merupakan generasi muda mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kuliah kerja lapangan (KKL).
Paparan pertama disampaikan oleh Ainun Nurma Ramadhana dan Dimas Arief Ekananto. Mereka mengungkapkan bahwa Kota Batu dipilih untuk dikaji bersama karena Kota Batu memasukkan pariwisata dan agrowisata dalam rencana pembangunannya. Secara daya dukung, Kota Batu masih memiliki daya dukung yang bagus terutama pada lingkungan fisiknya, khususnya terkait dengan aktivitas agrowisata — yang merupakan potensi besar di Kota Batu–. Keberadaan potensi ini ternyata kurang menarik bagi wisatawan yang sebagian besar berkunjung ke Kota Batu untuk menikmati atraksi wisata buatan. Oleh karena itu dalam kasus ini narasumber menyarankan untuk adanya diversivikasi atraksi agrowisata, tidak hanya aktivitas petik apel namun juga disertai dengan pengajaran pembuatan jus apel atau keripik apel atau bahkan jenang apel. Selain itu penyediaan infrastruktur penunjang perlu mendapat prioritas di Kota Batu untuk menunjang banyaknya atraksi wisata dan memaksimalkan income yang didapatkan oleh Kota Batu.
Paparan kedua disampaikan oleh Prof. Baiquni dengan judul “Leadership Kota Batu : Inovasi Kepemimpinan Kota Batu, Peran BAPPEDA dalam Perencanaan Wilayah Terpadu”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tantangan yang dimiliki Kota Batu dan bagaimana pemimpin dapat menjawab tantangan serta melalui hambatan yang mungkin terjadi pada Kota Batu. Menurut Beliau, dalam kasus Kota Batu — yang dijuluki “Switzerland van Java”– yang semakin lama semakin berkembang dengan banyaknya atraksi wisata buatan, diperlukan dukungan kebijakan pembangunan yang mendukung keberlanjutan Kota Batu, karena pembangunan kota Batu tidak hanya berlangsung pada setahun dua tahun tapi juga beberapa tahun kedepan. Kemampuan pemimpin dalam menangani hal ini juga berbeda-beda dan tugas yang dijalankan juga tidak sama, serta branding suatu kota juga dapat terpengaruh oleh perilaku dari seorang pemimpin sehingga sebagai pemimpin tidak hanya cukup dengan pengetahuan tapi juga kearifan dan keberanian adalah kunci dalam menjadi seorang pemimpin.
Di akhir seminar, peserta seminar sangat antusias untuk bertanya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan pada narasumber. Substansi pertanyaan yang ditanyakan pun beragam, mulai dari sejarah perubahan pertanian di Kota Batu, pengelolaan limbah sampai dengan terkait dengan hubungan antara pemimpin dan keadaan administrasi tempatnya memimpin. Seminar akhirnya ditutup oleh moderator yang mengingatkan bahwa pada zaman ini merupakan zaman virtual sehingga para pemangku kepentingan harus menyesuaikan dengan tantangan ada.
Artikel diambil dari www.pw.geo.ugm.ac.id