Seminar SDGs ke-20 ini terasa spesial karena merupakan rangkaian dari kegiatan Dies Natalis Fakultas Geografi ke-54. Acara yang dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 2017 di ruang Auditorium Merapi ini dibuka oleh sambutan dari Prof. Dr. Muh Aris marfai, M.Sc selaku Dekan Fakultas Geografi UGM. Dalam sambutannya beliau mengucapkan selamat datang pada tamu undangan khususnya Bupati, perwakilan Bappeda serta jajaran SKPD lain dari Provinsi Kalimantan Tengah serta daerah lain di sekitar D.I. Yogyakarta. Adapun yang memandu jalannya diskusi adalah Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc.
Sebelum memulai diskusi, Prof. Dr. Rijanta, M.Sc terlebih dahulu memberikan frame pembahasan topik pada seminar kali ini yakni dimulai dengan penjabaran kondisi fisik dan diakhiri dengan penerapan teknologi dalam pemindahan ibu kota negara. Selain itu beliau juga memberikan contoh kasus pemindahan ibukota yang telah dilakukan di berbagai negara.
Sebagai pembicara pertama, Prof. Dr. Junun Sartohadi M.Sc membahas terkait dengan kondisi fisik serta kerentanan bencana yang harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi yang cocok sebagai ibukota negara yang baru. Menurut beliau, lokasi ibukota negara yang baru tidak harus merupakan kota administratif yang telah berkembang namun bisa juga kota baru yang dikembangkan khusus untuk keperluan administratif. Alasan dari pernyataan ini adalah tidak adanya lokasi di bumi ini yang tidak memiliki ancaman bencana sehingga penempatan aktivitas di suatu daerah harus dilaksanakan dengan baik dan benar. Prof. Dr. Junun Sartohadi, M.Sc melengkapi penjelasannya dengan berbagai contoh kondisi fisik dan kerentanan bencana yang mengikutinya dan di akhir pemaparannya, beliau merumuskan 8 kriteria dalam menentukan lokasi ibukota negara yang baru didasarkan oleh kondisi fisik dan kerentanan bencananya. Pemaparan diakhiri dengan usulan lokasi yang mampu memenuhi seluruh kriteria yang dijalaskan sebelumnya yakni di Provinsi Kalimantan Tengah tepatnya di kaki pegunungan menoreh.
Setelah aspek fisik, aspek berikutnya yang dibahas adalah aspek demografi yang dipaparkan oleh Dr. Sukamdi, M.Sc. Menurut beliau, pemindahan ibukota bukanlah hal yang perlu dirisaukan karena telah banyak negara yang pernah melakukan hal tersebut. Dalam konteks Indonesia, mengacu pada pernyataan dari menteri Bappenas, pemindahan ibukota tidak dilakukan secara total, melainkan hanya pemindahan pusat administrasi pemerintahan. Untuk memindahkan fungsi pemerintahan, perlu dipikirkan pemindahan PNS yang bekerja di instansi pemerintah yang tentunya harus ditunjang oleh berbagai sarana prasarana utilitas dasar. Selain itu, pemindahan fungsi pemerintahan pada lokasi ibukota baru harus disertai dengan perencanaan jumlah penduduk dengan alasan daya dukung dan daya tampung wilayah. Oleh karena itu akan sangat baik apabila lokasi ibukota negara yang beru merupakan daerah dengan kepadatan penduduk yang masih relatif rendah. Kriteria ini akan sangat sulit dipenuhi apabila lokasi ibukota baru berada di Pulau Jawa.
Sesi pembahasan ditutup oleh pemaparan dari Dr. Luthfi Mutaali, S.Si., MT yang membahas isu pemindahan ibukota dari perspektif tata ruang. Menurut beliau, alasan utama pemindahan ibukota adalah alasan konstitusional yakni bagaimana negara mengemban amanah yang berkeadilan serta tidak ada kaitannya dengan Jakarta, karena walaupun ibukota dipindah maka permasalahan di jakarta akan tetap sama. Jenis pemindahan ibukota yang paling mudah adalah hanya dengan memindahkan pusat pemerintahan, namun hal ini memicu resiko politik dikarenakan adanya undang-undang yang harus diubah yakni undang-undang yang menyatakan bahwa presiden harus ada di ibukota negara. Secara komprehensif setidaknya ada empat pertimbangan yang harus diperhatikan yakni: geopolitik yang berhubungan dengan wawasan nusantara, geostrategis yang berkaitan dengan konektivitas ibukota baru, geoekonomi yang melihat pertimbangan ekonomi di lokasi baru, dan geoekologi terkait dengan keberlanjutan ekologis di lokasi ibukota yang baru. Dengan mempertimbangkan hal-hal berikut maka Dr. Luthfi Mutaali, S.Si., MT. Menyarankan lokasi yang tepat sebagai ibukota baru Indonesia berada para provinsi Kalimantan Timur dan kalimantan Selatan.
Setelah pemaparan dari Dr. Luthfi Mutaali, S.Si., MT., maka dilanjutkan pada sesi diskusi. Terhitung ada delapan pertanyaan atau tanggapan yang dilontarkan oleh peserta seminar, tentunya dengan latar belakang yang beragam. Secara garis besar, pernyataand an pertanyaan yang dikemukakan berkaitan dengan tantangan pemindahan ibukota apabila memang benar terjadi, faktor inklusivitas daerah dalam segala aspek merupakan hal mendasar yang harus dipertimbangkan, selain itu ketersediaan energi serta investasi berbagai pihak juga isu baru yang memang harus didiskusikan lebih lanjut. Satu hal penting yang dikemukakan oleh moderator di akhir acara, yakni semangat dan kepercayaan anak muda dan generasi milenial untuk berdiskusi dan mencari solusi akan pembangunan bangsa merupakan hal yang positif karena generasi inilah yang menjadi kunci pembangunan bangsa.