Di hari-hari terakhir menjelang libur Idul Fitri, ruang Sidang Fakultas Geografi masih diramaikan dengan kehadiran para peserta seminar SDGs, Rabu 21 Juni 2017. Seminar SDGs yang diselenggarakan setiap bulan, kali ini mengangkat tema “Spirituality of Sustainability”. Obrolan hangat lintas disiplin dan lintas keyakinan ini dipandu oleh Ketua Departemen Geografi Pembangunan UGM, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A. yang bertindak sebagai moderator. Hadir sebagai pembicara utama, dosen Geografi Pembangunan UGM, M. Isnaini Sadali, S.Si., Msc. dan pembicara tamu, Bapak Mochtar dari kelompok kajian Insist yang juga sahabat dari Bapak Prof. Dr. M. Baiquni, M.A.
Sekitar pukul 16.00 WIB, diskusi santai ini dibuka oleh sambutan yang diberikan oleh Prof. Dr. M. Baiquni, M.A. Menurutnya, pada momen bulan Ramadhan ini, bahasan terkait keberlanjutan harus dimaknai secara lebih dalam. Keberlanjutan tidak melulu berbicara mengenai aspek rasional terkait sosial, ekonomi, dan lingkungan, namun juga harus dimaknai secara spiritual yang mengarah kepada hubungan antara tiga elemen penting dalam kehidupan, ketuhanan (habluminallah), kemanusiaan (habluminannas), dan alam (habluminal’alamin). Oleh karena itulah, pendekatan secara spiritualitas sangat diperlukan untuk mengiringi pendekatan saintifik rasional dalam memaknai keberlanjutan, khususnya di bulan suci ini. Prof. Dr. M. Baiquni, M.A menutup sambutannya dengan sebuah kalimat mutiara “Rasionalitas semata hanya akan berujung pada kegelapan. Akan tetapi, rasionalitas dan spiritualitas akan membawa pada jalan cahaya”. Harapannya, forum lintas disiplin seperti forum SDGs ini dapat mengakomodasi seluruh makna dari keberlanjutan itu sendiri.
Pembicara pertama, M. Isnaini Sadali S.Si., M.Sc menuturkan bahwa hendaknya kita menyusuri sejarah zaman Nabi Muhammad SAW untuk belajar mengenai pembangunan, keberlanjutan dan spiritualitas. Saat awal pendirian negara madinah, yang pertama dilakukan oleh Rasulullah SAW adalahmembangun masjidmasjid. Hal ini dilakukan karena masjid merupakan pusat segala aktivitas kaum muslimin sehingga dapat tumbuh ukhuwah diantara mereka. Hal ini menjadi modal untuk tahapan selanjutnya, yaitu menyusun konstitusi dan menjalankan kedaulatan negara. hal ini hanya akan terbentuk apabila telah tumbuh rasa saling cinta dan memiliki antar masyarakat.
Senada dengan metode Rasulullah, sebuah pepatah Jawa yang berbunyi witing tresno jalaran soko kulino juga berbicara tentang ukhuwah khususnya jika diterapkan dalam konteks sosial. Tresno (cinta) dalam konteks ini memiliki makna semangat yang dilandasi dengan rasa senang, apabila hal itu terwujud, maka apa yang dilakukan tidak akan terasa sulit bahkan terkadang mengalir begitu saja dan akan mendorong kita untuk berkorban dengan mudah. Soko kulino (kebiasaan), berarti keberlanjutan. Terkait dengan hal ini, terdapat sebuah hadits yang dapat kita jadikan hujjah (landasan) yakni “ Amalan yang paling disukai Allah adalah amalan kecil namum rutin untuk dijalankan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam penerapannya, soko kulino dan hadits di atas mengedepankan pada keberlanjutan sebuah kebaikan yang apabila dilakukan dapat memberikan warna pada kehidupan kita. Dengan demikian, alangkah baiknya untuk segera melakukan kebaikan walaupun kecil ataupun menegakkan kebenaran walaupun belum dirasa sepenuhnya benar.
Diskusi mengenai keberlanjutan, spiritualitas dan solidaritas menjadi semakin hangat dengan refleksi dari beberapa peserta yang hadir. Perbedaan persepsi yang ada menstimulan dan memperkaya pemahaman mengenai makna spiritualitas dan solidaritas dalam konteks keberlanjutan. Seperti yang dituturkan oleh beberapa mahasiswa S3 Fakultas Geografi yang menyoroti pentingnya untuk menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai kepedulian akan keberlanjutan di level komunitas dan keluarga. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai agama yang diyakini, seperti kebiasaan menggunakan segala sesuatu secukupnya, bersyukur dan berdoa. Memelihara nilai-nilai tersebut dalam komunitas, keluarga dan sekolah tidak hanya akan berdampak bagi pengembangan karakter SDM terkait namun juga akan berdampak luas pada pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Berdasarkan temuan dari penelitian beberapa mahasiswa S3 di lingkungan Fakultas Geografi, hal ini ternyata sudah dijalankan sejak lama di daerah tertentu. Contohnya adalah penerapan sistem adat di beberapa daerah di Aceh yang kental akan nilai spiritualitas keagamaannya. Sistem ini telah terbukti keberlanjutannya sampai sekarang dan puncaknya pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Diskusi dilanjutkan dengan mendengarkan pengalaman serta pandangan dari Pak Mochtar sebagai salah satu pembicara. Beliau menuturkan bahwa nilai-nilai yang disampaikan oleh Rasulullah SAW merupakan nilai universal yang tidak hanya diyakini dan dijalankan oleh muslim akan tetapi juga dapat diterapkan oleh seluruh umat manusia. Masyarakat yang dibentuk Rasulullah adalah masyarakat yang menyampaikan nilai-nilai universal, keberlanjutan, keberkahan dan kebaikan bagi sesama. Islam sudah mengajarkan tentang keberlanjutan terutama dalam level masyarakat atau komunitas. Akan tetapi terdapat distorsi pemahaman umat sekarang yang mengkerdilkan nilai-nilai universal tersebut. Dengan demikian, pemahaman akan nilai-nilai yang dibawa Rasulullah SAW dalam mewujudkan keberlanjutan peradaban manusia perlu dikaji secara mendalam dan diteladani tanpa memandang perbedaan yang ada di masyarakat.
Pak Momo, salah seorang peserta yang juga aktif mengelola komunitas “Karunia Semesta” menambahkan, apabila berbicara pada konteks keberlanjutan, kaca mata yang digunakan harus luas. Jika tidak maka kekacauan yang akan terjadi. Belajar dari zaman Nabi, terjadi beberapa chaos yang disebabkan oleh masih terisolasinya manusia pada zaman itu, baik secara informasi maupun secara geografis. Kemudian turunlah wahyu yang mengajak pada kedamaian sehingga nilai-nilai kedamaian mulai menyebar. nilai-nilai inilah yang kemudian harus disebarluaskan, dengan mengajak banyak orang. Pada zaman dahulu, hidup bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama, akan tetapi saat ini ada kelompok-kelompok yang merasa paling benar sehingga mengancam keberlanjutan itu sendiri. Sudah sepantasnya kita mengambil pelajaran dari siklus alami seperti air, selalu bergerak sesuai dengan siklus alaminya. Air dapat berubah wujud sesuai dengan tahapan siklus yang dilaluinya dan senantiasa merespon pada setiap energi yang diberikan, seperti doa yang dibacakan sebelum meminum air. Air akan berkhasiat apabila diucapkan doa-doa yang baik. Begitu juga dengan keberlanjutan, hanya akan terwujud apabila ditunjang oleh aspek yang baik.
Seminar ditutup dengan pernyataan dari para pembicara yang menekankan pentingnya menggali pemahaman akan suatu hal dari berbagai persepsi, memetakan pandangan akan suatu hal di berbagai skala, membebaskan penzaliman diri sendiri terhadap diri sendiri dan bersedia untuk saling memberi. Kebenaran hakiki hanya dari Tuhan maka tugas manusia adalah senantiasa mencari dan menggali wawasan serta membersihkan hati sehingga dapat merasakan kebenaran dan kebatilan. Hal ini dapat diterapkan di berbagai konteks terutama pada konteks keberlanjutan.
Ditulis oleh : Idea Wening Nurani & Hafidz Wibisono